Apakah wanita hamil dan menyusui mesti menunaikan qadha’ ataukah
cukup fidyah saja ataukah mesti menunaikan kedua-duanya? Masalah ini
terdapat perselisihan kuat di antara para ulama.
Yang jelas jika wanita hamil dan menyusui merasa berat untuk
berpuasa, entah khawatir pada bayi maupun dirinya sendiri, maka ia boleh
tidak berpuasa. Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Perselisihan Ulama
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa para ulama dalam masalah qadha’ dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui memiliki empat pendapat.
[Pendapat pertama] Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Sa’id bin Jubair
berpendapat bahwa boleh keduanya tidak puasa dan ada kewajiban fidyah,
namun tidak ada qadha’ bagi keduanya.
[Pendapat kedua] ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan, Adh Dhohak, An
Nakho’i, Az Zuhri, Robi’ah, Al Awza’i, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Abu
‘Ubaid, Abu Tsaur, dan ulama Zhahiri berpendapat bahwa keduanya boleh
tidak puasa namun harus mengqadha’, tanpa ada fidyah. Keadaannya
dimisalkan seperti orang sakit.
[Pendapat ketiga] Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
keduanya boleh tidak puasa, namun wajib menunaikan qadha’ dan fidyah
sekaligus. Pendapat ini juga dipilih oleh Mujahid.
[Pendapat keempat] Imam Malik berpendapat bahwa wanita hamil boleh
tidak puasa, namun harus mengqadha’ tanpa ada fidyah. Namun untuk wanita
menyusui, ia boleh tidak puasa, namun harus mengqadha’ sekaligus
menunaikan fidyah. Ibnul Mundzir setelah menyebutkan pendapat-pendapat
ini, ia lebih cenderung pada pendapat ‘Atho’ yang menyatakan ada
kewajiban qadha’, tanpa fidyah. (Lihat Al Majmu’, 6: 178)
Tetap Ada Qadha’
Asy Syairozi -salah seorang ulama Syafi’i- berkata, “Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha’ tanpa ada kafarah. Keadaan mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduanya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada tiga pendapat.”
(Al Majmu’, 6: 177)
Imam Nawawi berkata, “Wanita hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa
karena khawatir pada keadaan dirinya, maka keduanya boleh tidak puasa
dan punya kewajiban qadha’. Tidak ada fidyah ketika itu seperti halnya
orang yang sakit. Permasalahan ini tidak ada perselisihan di antara para
ulama. Begitu pula jika khawatir pada kondisi anak saat berpuasa, bukan
pada kondisi dirinya, maka boleh tidak puasa, namun tetap ada qadha’.
Yang ini pun tidak ada khilaf. Namun untuk fidyah diwajibkan menurut
madzhab Syafi’i.” (Idem)
Tidak Tepat Hanya Fidyah Saja
Sedangkan mewajibkan hanya menunaikan fidyah saja bagi wanita hamil dan menyusui tidaklah tepat. Ibnu Qudamah berkata, “Wanita hamil dan menyusui adalah orang yang masih mampu mengqadha’ puasa (tidak sama seperti orang yang sepuh). Maka qadha’ tetap wajib sebagaimana wanita yang mengalami haidh dan nifas. Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 menunjukkan kewajiban fidyah, namun itu tidak menafikan adanya qadha’ puasa karena pertimbangan dalil yang lain. … Imam Ahmad sampai berkata, “Aku lebih cenderung memegang hadits Abu Hurairah dan tidak berpendapat dengan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang berpendapat tidak wajibnya qadha’.” (Al Mughni, 4: 395)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Lebih tepat wanita
hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya
kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa
menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.” (Syarhul
Mumthi’, 6: 350. Lihat pula pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dalam
Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15: 225 dan Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman
bin Jibrin dalam Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 576-577)
Kewajiban qadha’ saja yang menjadi pendapat ‘Atho’ bin Abi Robbah dan
Imam Abu Hanifah. Inilah pendapat terkuat dari pendapat para ulama yang
ada. Sehingga wanita hamil dan menyusui masih terkena ayat,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185).
(QS. Al Baqarah: 185).
Ringkasnya, pendapat yang penulis cenderungi adalah yang menyatakan
bahwa wanita hamil dan menyusui saat tidak puasa, maka ia harus tetap
mengqadha’ puasa, tidak dengan fidyah saja. Adanya qadha’ di sini sudah
ma’ruf di tengah-tengah para sahabat dan para ulama. Inilah pendapat
yang lebih tepat.
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
0 komentar:
Posting Komentar